Glosarium.my.id -- (14/04) Badan Kesehatan Dunia (WHO) melacak dua subvarian baru lagi dari virus corona Covid-19 Omicron untuk mencari tahu daya tular, tingkat infeksi dan resistensinya melawan imun tubuh. Disebut BA.4 dan BA.5, hanya beberapa belas kasus infeksinya yang sudah ditemukan dan dilaporkan di dunia.
Meski begitu WHO tetap melacak mereka, "berkenaan dengan mutasi tambahan yang butuh dipelajari lebih jauh untuk memahami pengaruhnya kepada potensi resistensi terhadap imun tubuh."
WHO mengumumkan pelacakan itu pada Senin, 11 April 2022. Adapun BA.4 dan BA.5 menambah panjang daftar SARS-CoV-2, virus corona penyebab Covid-19, yang diawasinya selama ini.
Khusus untuk varian Omicron, WHO sudah lebih dulu memantau ketat variannya yang orisinal (BA.1) dan BA.2 yang kini dominan di dunia, seperti halnya juga BA.1.1 dan BA.3. Ini di luar kasus infeksi virus rekombinasi antar subvarian Omicron seperti Omicron XE yang, berdasarkan hasil studi awal, menunjukkan daya tular sekitar 10 persen lebih tinggi daripada BA.2.
Menurut Health Security Agency, Inggris, Omicron subvarian BA.4 telah diidentifikasi di Afrika Selatan, Denmark, Botswana, Skotlandia dan Inggris per 10 Januari hingga 30 Maret 2022. Sedangkan BA.5 sempat diungkap hanya menyebar di Afrika Selatan sebelum belakangan Kementerian Kesehatan Botswana melaporkan empat temuan kasus BA.4 dan BA.5 di negaranya pada Senin lalu.
Di Botswana, kasus ditemukan pada orang berusia 30-50 tahun, sudah divaksin dosis penuh dan hanya mengalami gejala infeksi yang tergolong ringan.
Tak lagi khawatir Covid-19
Terpisah, masyarakat di Inggris menyatakan lebih mencemaskan kondisi keuangannya ketimbang risiko terinfeksi Covid-19, meski perkiraannya saat ini ada satu dari 13 orang di negara itu yang telah terinfeksi. Tim dari Departemen Ilmu dan Kesehatan Perilaku, University College London, Inggris, menemukan itu setelah bertanya kepada 28.495 orang antara 21 dan 27 Maret lalu.
Sebanyak sepertiga partisipan yang mencemaskan terinfeksi Covid-19, atau turun dari 40 persen pada Januari lalu. Sebaliknya untuk mereka yang lebih mengkhawatirkan krisis biaya hidup atau kondisi keuangannya, jumlahnya naik dari 32 persen pada Januari lalu menjadi 38 persen kini.
Survei itu juga mendapati 49 persen partisipan yang mengaku kesehatan mentalnya masih terkontrol. Ini turun dari 54 persen pada enam bulan lalu. Sedang proporsi partisipan yang merasakan gejala depresi mencapai yang tertinggi dalam 11 bulan ke belakang.
"Dari temuan ini bisa diduga kalau kembalinya kita ke kehidupan yang lebih normal belum membawa seluruh manfaat kesehatan mental yang diperlukan orang-orang," kata Daisy Fancourt, anggota tim survei dari University College London.